Belajar Mengambil Keputusan Finansial dari Monyet Capuchin



Pernahkah anda bingung ketika hendak memutuskan ingin berinvestasi pada saham, obligasi, reksa dana, properti dan macam-macam jenis investasi lain? Atau pernahkah anda melakukan analisis terhadap investasi yang akan anda pilih untuk memperkirakan profit yang didapatkan? Mungkin sebagian besar dari anda tidak asing dengan beberapa istilah pada dunia bisnis dan ekonomi seperti unicorn, fat cat, killer bees, cash cow, bull market atau lame duck yang penamaannya diadaptasi dari dunia fauna. Tapi, apakah anda menyangka bahwa hewan juga memiliki perilaku untuk memahami risiko investasi seperti manusia ?

Monyet Capuchin (Sapajus apella) atau biasa disebut Tufted Capuchin berasal dari Amerika Selatan dan memiliki penyebaran di Venezuela, Columbia, Equador, Peru, Brazil, dan Bolivia. Monyet ini hidup pada iklim tropis serta dapat ditemukan pada ekosistem hutan hujan tropis salah satunya Hutan Amazon. Monyet Capuchin tergolong ke dalam hewan omnivora, mereka gemar memakan buah buahan dan terkadang memakan vertebrata dan invertebrata kecil sepeti kadal, laba-laba, belalang, dan capung bahkan telur burung. Monyet ini dikenal unik karena dapat mengambil keputusan finansial layaknya manusia yang sedang melakukan investasi. 

Dilansir dari jurnal yang berjudul The Evolution of Our Preferences : Evidence From Capuchin Monkey Trading Behaviour, Keith Chen bersama dua peneliti lain yang berasal dari Universitas Yale berhasil membuktikan apakah perilaku monyet Capuchin didapatkan secara genetika atau salah satu proses adaptasi pembelajaran dari pengalaman spesies tersebut. Sebelum dilakukan penelitian, sekawanan monyet Capuchin dilatih untuk melakukan transaksi dengan koin yang diganti dengan potongan timun, serta diperkenalkan dengan trading dan flat currency untuk melihat kecenderungan pilihan yang berisiko.

Chen serta peneliti lainnya melakukan eksperimen dengan cara memberikan buah anggur pada monyet yang dapat diperoleh jika monyet tersebut telah menukarkan koin. Pada eksperimen kali ini peneliti berperan sebagai penjual buah anggur. Hasil penelitian menunjukan bahwa monyet cenderung kembali membeli anggur dengan harga murah dibandingkan harga yang mahal. Monyet Capuchin juga dapat menolak kembalian koin yang tidak sesuai dengan melemparkan kembali koin tersebut keluar kandang.

Pada eksperimen selanjutnya, peneliti menawarkan 2 pilihan. Pilihan pertama, monyet pasti mendapat bonus 1 anggur atau pilihan kedua mendapatkan bonus 2 anggur atau tidak mendapat bonus sama sekali. Mereka cenderung memilih pilihan pertama untuk menghindari kerugian dibandingkan mendapatkan keuntungan (loss-aversion). Hal tersebut mirip dengan keputusan beberapa orang yang lebih nyaman berinvestasi ke reksa dana pasar uang atau bunga deposito dengan keuntungan sedikit namun memiliki risiko rendah. 

Hasil berbeda ditemukan ketika peneliti menyediakan tiga buah anggur. Peneliti pertama menghilangkan satu anggur, kemudian meninggalkan monyet dengan dua buah anggur, sementara peneliti lainnya mengulang taruhan yang bisa berakhir dengan ketiga buah anggur, atau hanya  mendapatkan bonus satu anggur saja. Walaupun hasil eksperimen tersebut sama, pada kasus ini monyet Capuchin lebih berani mengambil risiko untuk mendapatkan keuntungan lebih. Keputusan tersebut sama dengan orang yang memilih berinvestasi dengan saham atau bitcoin yang berpeluang mendapatkan profit (capital gain) yang tinggi namun memiliki risiko kerugian yang juga tinggi. Fenomena tersebut juga menjelaskan mengenai konsep “Sunk-Cost Fallacy” dimana suatu biaya yang sudah dikeluarkan tidak bisa diambil lagi. Biaya tersebut dapat berupa waktu, energi, dan materi. Ketika hal tersebut sudah terjadi, akan ada pengaruh pada pengambilan keputusan berikutnya untuk memperbaiki keadaan atau justru sebaliknya.

Profesor Jatna Suprijatna, salah satu guru besar Universitas Indonesia menjelaskan mengenai konsep nature dan nurture pada perilaku hewan, “nature dipengaruhi oleh gen, hormon dan insting, sementara nurture bersifat fleksibel serta terkait dengan proses pembelajaran dari pengalaman” .

Pada keputusan yang berujung pada keuntungan maupun sunk-cost fallacy merupakan perpaduan antara nature dan nurture pada perilaku monyet Capuchin.  Richard Dawkins, seorang etolog asal Universitas Oxford dalam bukunya yang berjudul The Selfish Gene menuliskan bahwa seluruh tingkah laku hewan memiliki genetic basis. Hal tersebut erat kaitannya dengan hubungan sejarah evolusi antara hewan primata dengan manusia yang memiliki kemiripan genetik sehingga memiliki kesamaan dalam perilaku ekonomi.

Dari perilaku pengambilan keputusan pada monyet Capuchin kita dapat belajar bahwa mempertimbangkan segala sesuatu dan menyusun strategi finansial sangatlah penting. Sebagai manusia kita diberikan akal untuk dapat berpikir secara rasional sehingga dapat menyusun alasan serta pro-kontra sebelum mengambil keputusan. Seringkali keputusan yang kita buat hanya berdasarkan referensi sekilas atau bahkan karena emosi yang justru memperburuk keadaan finansial di masa depan. Terlihat sederhana namun penting, alam selalu menyajikan hal yang dapat kita pelajari untuk dapat menjalani hidup lebih baik bahkan sekalipun datangnya hanya dari seekor monyet.



Look deep into nature, and then you will understood everything better” –Albert Einstein.


DAFTAR ACUAN


Chen, M.K., Lakshminarayanan, V & Santos, L.R. 2006. How Basic Are Behavioral Biases?        Evidence from Capuchin Monkey Trading Behavior. Journal of Political Economy : University Chicago Press 114(3) : 517-537. 

Chen, M.K., Lakshminarayanan, V & Santos, L.R. 2005. The Evolution of Our Preferences:         Evidence from Capuchin-Monkey Trading Behavior. Cowless Foundation for Research in     Economics : Yale University 1524: 27 hlm.

Dawkins, R. 1976. The Selfish Gene. Oxford University Press : 224 hlm.   












Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arti & Kisah dibalik Lagu "Cornerstone" Arctic Monkeys

Dasar - dasar Adobe Flash ( Design, Animasi, dll )

Frank Sinatra - My Way: Behind The Song